Aksi para aktivis lingkungan yang menentang pembuangan limbah ke Sungai Citarum, yang juga mencemari areal persawahan sekitarnya. Foto : Sindo. |
Ahmad Ashov Birry, Detox Campaigner Greenpeace Indonesia dalam keterangan tertulisnya yang diterima Beritalingkungan.com mengatakan, penemuan tersebut menjadi potret lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dan juga lemahnya peraturan perundang-undangan Indonesia terkait manajemen B3. Dengan demikian, tidak hanya Sungai Citarum yang terancam terus tercemari oleh B3 industri, tapi juga sungai-sungai lain di Indonesia.
Investigasi yang dilakukan Greenpeace sejak tahun 2011 di sungai Citarum terhadap industri tekstil menemukan bahwa tidak hanya industri kedapatan melanggar baku mutu dalam membuang limbahnya, namun juga bahwa industri ditemukan membuang berbagai bahan kimia berbahaya beracun seperti logam berat kromium heksavalen (Cr6+), timbal, kadmium dan merkuri dan juga bahan kimia organik seperti Alkyphenol dan Phthalates .
Dalam baku mutu limbah tekstil misalnya, banyak jenis logam berat (kecuali kromium) dan bahan kimia yang berpotensi berbahaya beracun (kecuali phenols yang merupakan kategori umum) tidak diatur.
Hal tersebut menggambarkan bahwa peraturan di Indonesia yang ada saat ini gagal dalam menyediakan perlindungan terhadap pencemaran yang sudah meluas. Standard-standard yang ada tidak cukup komprehensif atau ketat, dengan pengawasan dan penegakan hukum yang lemah.
Untuk mencegah pencemaran B3 terus terjadi menurut Ashov, dibutuhkan resolusi kebijakan yang bisa membawa Indonesia menuju Nol Pembuangan B3 melalui evaluasi, eliminasi (penghapusan penggunaan) dan substitusi bahan berbahaya beracun secara kontinyu, berdasarkan prinsip kehati-hatian dan pendekatan pencegahan.
Langkah tersebut juga harus dilengkapi dengan penegakan hukum yang tegas dan berefek jera dan meningkatkan tekanan pengawasan publik dengan mewujudkan transparansi data-data pembuangan B3 industri.
(shd)
0 comments:
Post a Comment